Sunday, June 29, 2014

(lagi) bahas soal (pendukung) pilpres

........

Sebenernya saya sih males ya, ngebahas hal-hal yang menurut saya low banget. Kurang intelek. Tapi fenomena seperti itu yang sekarang lagi tren. Malah menjadi-jadi memasuki bulan Ramadhan yang seharusnya lebih tenang.

Masih seputar perseteruan antara 2 kubu pendukung capres yang akan berlaga tanggal 9 Juli nanti. 

Berbagai tanggapan muncul dari semua kalangan, cendekia, sampe yang cuma sekedar ikut-ikutan. Yang tergres adalah surat terbuka Tasniem Fauzia, putri Amien Rais. Isi surat itu (menurut saya) menagih janji seorang warga kepada pemimpin daerah. Itu aja. Kalaupun nada dalam surat itu tajam mencela, wajar. Masih dalam taraf kewajaran jika kita tidak puas dengan suatu pelayanan dan menuntut penjelasan.
 
Intermezzo dikit deh. Ayo ngaku, jujur, gak usah pake munafik, sapa yang ngga pernah marah-marah ketika ngedapetin pelayanan yang ngga memuaskan? Mau di restoran, apotik, rumah sakit, pelayanan pemerintahan, dan lain-lain? Siapa?
Dan Tasniem menuntut penjelasan yang sama dari pelayan masyarakat, seorang Gubernur di Daerah Khusus Ibukota. Seorang Jokowi, yang kebetulan mencalonkan diri sebagai Presiden untuk 5 (lima) tahun mendatang.

Tapi reaksi macam apa yang diperoleh?

Sungguh memalukan. Sebagai generasi muda, yang sejak kecil diajarkan untuk santun, disekolahkan agar mengerti intelektualitas, diperkenalkan dengan teknologi..malah melontarkan caci maki dengan bahasa yang benar-benar memalukan untuk didengar ataupun dilihat (karena dalam bentuk tulisan).

Saya teringat lagi komentar Mr. R, supaya tidak reaktif dengan hal-hal seperti itu. Negativisme akan melahirkan hal-hal yang negatif juga. Pengelolaan kata-kata pun penting untuk menenangkan emosi. Boleh saja pendukung Jokowi merasa emosi. Tapi jawaban yang lebih tenang bisa diberikan. Cara pandang kita terhadap apa yang kita dukung menghasilkan perspektif yang bervariasi dalam memberikan komentar.

Menghargai pendapat orang lain itu penting.

Saya ditanya sama kolega, ngajar apa di perguruan tinggi? Saya mengajar Pancasila. Sepele? Iya bagi yang menganggapnya sepele. Bagi saya, penting untuk belajar Pancasila sampai tua, agar mengerti dan paham 5 sila yang ada dalam Pancasila itu bener-bener falsafah hidup bangsa Indonesia, yang intelektual, santun, demokratis dan adil. Sementara, semuanya tidak saya lihat pada para pendukung 2 capres ini...

Prabowo.

Yang tidak mendukung Prabowo, kebanyakan mempermasalahkan ketika reformasi dan peristiwa Trisakti. Dimana Prabowo dituduh sebagai penjahat pelanggar HAM, dengan melakukan penculikan dan pembunuhan tak terdeteksi. Saya juga tumbuh pada masa reformasi itu. Saya mengalami masa-masa demonstrasi karena saat itu saya adalah mahasiswa. Sakitnya diburu dan segala macam kebencian idealis terhadap aparat saya alami. Didepan mata saya, senior saya kritis akibat dipukuli dengan popor senjata ketika berdemo di depan markas militer. Sudah terdesak masih dikejar. Masih kerasa sesak tangis waktu itu. 
Cukup lama saya memandang rendah terhadap aparat, mau ijo atau coklat. Padahal saya cucu pejuang. Tentara. Nasib membawa saya tinggal di eks komplek militer dimana tiap hari saya melihat tentara hilir mudik di depan rumah saya, dan kemudian bekerja di lingkungan dimana salah satu hubungan relasinya dengan aparat.
Kenapa pandangan saya berubah? Karena saya bekerja sebagai pegawai negeri yang juga jelas garis komandonya. Dari atasan, perintah kepada bawahan. Walau tidak seketat aparat, tapi itu yang saya ketahui. Bahwa perintah atasan, sudah melewati uji materi, dan pertimbangan-pertimbangan untuk dilaksanakan, dan segala resiko menjadi tanggung jawab pelaksana.
 
Tidak adil? Mana ada hal yang adil di dunia ini. Mau adil? Jadi atasan. Tapi sekarang lagi ngga ngebahas itu, ya... walau intinya tetap saja sama.

Ya ampun... padahal saya berjanji tidak akan menyebut lantang nama-nama capres hahahaha... biarin ah. Trus nanti yang baca tulisan saya ini menghujat saya. Wkwkkwkwkk. Saya ngga tahan dihujat. Saya temperamental berat :p
Tapi cuma mau mengeluarkan isi kepala saya aja yang udah jengkel liat fanatisme-tidak-pada-tempatnya yang rame ngotor-ngotorin timeline media sosial saya.

Ada bahasan tentang keluarga korban penculikan yang sampe sekarang gak ketauan nasibnya (ya mungkin aja udah ngga ada di dunia lagi ya.... :( ) dan tragedi 98, yang menolak Prabowo jadi presiden. Marah karena ada pendukung yang menyinggung lupakan masa lalu. Masa lalu yang pahit memang ngga mudah untuk dilupakan. 
Saya juga begitu. Tapi trus ada yang bilang sama saya, jika presentase memilih untuk melupakan masa lalu lebih tinggi, apakah kamu mau bertahan atau pergi saja? Pilihan yang berat bukan?
Hak mereka juga untuk tidak memaafkan apa yang sudah mereka alami, tapi bukan berarti harus diekspos sedemikian rupa untuk kepentingan politis. Duka cita mereka hanya milik mereka. Dan pilihan mereka untuk tidak melupakan. Kita tidak berhak mengikut sertakan duka cita mereka untuk menyerang pihak lawan. 

Dan saya juga tau, menjelaskan kepada orang yang tidak mau mendengarkan adalah sia-sia. Makanya orang jadi cenderung memancing emosi untuk menarik perhatian.
Kaum intelek yang benar-benar peduli dengan kemajuan dan perubahan bangsa, akan melakukan lebih daripada cara licik yang tidak bermartabat seperti yang banyak dilakukan sekarang ini.
Tapi, saya suka efeknya. Saya yakin tingkat presentase golput akan jauh menurun karena terpicu emosi dangkal ini :)))

Oh Indonesia... semoga selamat...

No comments:

Apa kabar?

 Jalan-jalan, ketemu kawan  Kemudian saling bertegur sapa  Hai. Apa kabar?  πŸ˜ΆπŸ’­ Apa kabar... Saya sudah berbulan-bulan insomnia parah, wala...