Saya harus mengakui, bahwa apa yang saya alami tidak mampu saya atasi sendiri. Dilemanya mendera dan mencambuk saya dengan meninggalkan luka yang sangat dalam dan sulit disembuhkan. Dan colokan demi colokan mengenai kedua bola mata saya, semata untuk menyadarkan apa yang enggan saya lihat atau penglihatan seperti apa yang terlewat selama ini. Meninggalkan jejak depresi.
Kata teman saya, depression is not a sign of weakness, it is a sign that you have been trying to be strong for too long. Saya ngga tau deh, mengerti apa tidak teman saya ini dengan kalimatnya. Yah, mungkin mengerti, tapi dari depresi yang dilihat menurut sudut pandangnya. Tapi saya setuju kok dengan apa yang sudah dia tuliskan di halaman jejaring sosialnya. Ada lagi pernah bilang, jangan curhat. Karena tidak semua orang memahami kamu, yang ada masalahmu tambah runyam, kamu tambah DEPRESI, boro boro jalan keluar, malah penyakit bertambah dalam.
Benar lagi. Makanya saya tidak suka curhat. Tapi kok jadi pada salah paham? Dan itu baru meluncur dari mulut seorang temang yang lain yang mengatakan, mengira bahwa saya sudah move on dari kungkungan masalah saya. Oh oh... wrong impression.
Saya jadi bingung, dengan bahasa apa saya mesti menunjukkannya? Bahasa verbal, bahasa tubuh, atau bahasa cinta?
Tidak berguna menguasai berbagai macam bahasa asing kalau tidak mengerti bahasa JIWA. Ya, jiwa memiliki bahasa, orang mengenalnya dengan pengertian dan perasaan. Memahami yang itu sangat sulit.
Hei, mengertikah kamu duka cita Widyawati waktu ditinggal Sophan Sophiaan? atau Angelina Sondakh ditinggal Adjie Massaid? Tidak. Karenanya orang banyak bilang ikhlas... relakan... doakan.... Sepertinya sih tanpa harus diberitahu, pasti semua itu akan mereka lakukan. Tapi yang ingin mereka lakukan PADA SAAT ITU, hanyalah menangis. Menangis dan berbicara kepada belahan jiwa mereka, mengucapkan perpisahan dengan cara mereka sendiri.. selama mereka tidak meratap, tidak apa apa kan? Tapi kepedulian orang orang terkadang menghalangi emosi manusia biasa itu keluar dan meluap seperti air bah, dan menyebabkan sisa sisanya menyumbat dan menjadi penyakit yang mengancam di kemudian hari.
Dan menimbulkan depresi. Karena berusaha kuat dan tegar, kehilangan penopang hidup, tapi tidak memperolehnya kembali.
Untuk hal yang satu ini, tidak ada satu manusiapun mengerti, sampai menyadari perubahan perubahan mencolok terjadi. Dan kemudian apa yang diperoleh? Nasihat. Nasihat yang sampai titik komanya sudah diketahui dengan jelas, dengan muaknya terpaksa ditelan kembali kata demi kata.
Manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk bergantung, tapi kemana telinga jiwa dan pengobat lara hati yang sesungguhnya? Saya kira wajar kalau pada akhirnya, orang memutuskan untuk menjalaninya sendiri.
No comments:
Post a Comment