Ketika kita kehilangan separuh hati kita, sangat terasa efek yang ditinggalkannya. Bingung, penyangkalan, senyum kenangan, airmata kesedihan, kegamangan...
Ketika cinta direnggut dari diri kita, walau karena kesalahan yang kita lakukan sendiri, tetap saja membuat sayap patah berlumuran darah dan airmata yang terkulai disisi. Pada saat menatap dari atas tebing dan merintih, bertanya kenapa kita tidak bisa membuat orang yang kita cintai dan sayangi dengan sepenuh hati bahagia? Kenapa pengorbanan yang kita lakukan lenyap begitu saja tergantikan oleh kebencian?
Kenapa begitu mudahnya membenci orang yang kita cintai?
Pedih menyadari, kita begitu dekatnya namun juga begitu jauhnya. Seharusnya, cinta itu penghormatan, cinta itu pengabdian, cinta itu pengorbanan, cinta itu kebersamaan, cinta itu keabadian...
Pedih menyadari, kita tidak mampu menolong orang yang kita cintai, yang teriakan kesakitan dalam diamnya bergema dalam jiwa kita. Mengapa justru tercipta jarak, pada saat seharusnya kita adalah orang yang harus memeluknya?
Cinta itu alasan terbaik untuk saling menyakiti, tapi perlukah rasa sakit itu dicari-cari?
Tidak ada keikhlasan dalam hidup ini, karena hati yang terluka parah dan terkapar dalam carut marutnya, tercabik oleh goresan benci, masih menangisi kehilangannya sampai akhir nanti.
Cinta dan benci, sungguh tipis tabir pembatasnya, realita cinta tidak bisa disandingkan dengan logika, hidup dengan jiwa kosong, melangkah dengan pandangan hampa, menapaki kesakitan, meneriaki nasib.... mengejar bayangan semu
No comments:
Post a Comment