Sudah berapa lama ya saya menjalankan blog ini walaupun banyak cutinya? Hehehe... karena terkadang tulisan-tulisan saya, saya salurkan melalui media sosial yang lebih singkat, belajar branding, dan lainnya. Selain disibukkan dengan kisah hidup dan pekerjaan.
Saya mengenal media sosial sejak adik saya pulang kerumah pada suatu masa dengan teman-temannya dan sibuk tertawa bercerita, bahwa dia baru kenalan dengan bule!
Wow. Bule.
Tempo itu, bule adalah sesuatu hal yang sangat keren bahkan bagi saya, yang selalu kepengen menjajal kemampuan bahasa asing yang telah saya pelajari sejak usia 9 tahun. Yes, walau akademik saya yang cemerlang amat, tapi kemampuan bahasa saya lumayan.
Saya tanya dong, kenal dimana sama bulenya. Ternyata internet.
Huh? Internet? Sesuatu hal yang baru dan asing. Dan adik saya menyuruh saya pergi ke restoran cepat saji (the one and only dulu sebelum kemudian serangan kaefce, awe, kaliforniafred atau mekdi membombardir), di lantai 3nya. Rupanya disitu sudah dibentuk sedemikian rupa, menjadi sebuah cafe internet (pertama di kota saya), dan seru.
Mainlah kita, mIRC (bukan lagunya saikoji).
Itu, adalah pengenalan pertama saya dengan dunia maya. Dunia sosial. Selanjut-lanjutnya kemudian, ada Friendster, Yahoo Messenger, dan meruntut ke arah masa kini, Facebook, Twitter, Instagram, Weebo, dan lain-lain. (saya bukan mau mengabsen segala media sosial itu..)
Menjadi selebriti di dunia maya, sering menjadi tujuan. Bukan social climber, tapi merasa seneng aja kalau pusat perhatian terarah padanya. Tapi persaingan semakin ketat, seperti dunia entertain, selalu ada yang datang dan pergi. Lalu bagaimana mempertahankan pengikut? Konten.
Setiap postingan, harus punya arti. Pada biodata, sudah ditulis, apa yang mau 'dijual' dari sipemilik akun. Bisa jadi berubah-ubah, tergantung efek dari selebsos mana yang lagi diikuti.
Lalu, dalam postingan tersebut, mulailah dibuat berkonten quote (terutama untuk postingan gambar).
Meme, quote, banyak juga yang bersliweran. Tetiba, banyak banget sastrawan pujangga cinta melintas di setiap timeline media sosial. Atau seller yang membranding dengan soft sell.
Tapi, paham gak sama isi quotenya?
Terkadang, quote memang dipakai sebagai ajang pamer. Quote muvon, dipakai untuk pamer bahwa dia sudah tidak apa-apa, walau sebenernya serapannya gak gitu juga. Atau quote ayat, menguji keimanan sebenernya itu beneran diresapi, atau cuma buat pencitraan?
Perkara menyindirpun, dapat melalui quote yang dipostingkan. Jadi sebenarnya, keberadaan quote itu, untuk senjata, atau untuk mawas diri?
Menyenangkan diri sendiri dengan mengatakan hal baik pada diri melalui quote-quote itu baik. Setidaknya meninggalkan jejak positif untuk diri. Tetapi, ketika menggunakannya untuk menyindir seseorang atau sesuatu, maka hal baik yang diharapkan tidak akan pernah datang menghampiri.
Keberadaan quote tersebut memang untuk mengisi rasa batin manusia yang terkadang perlu melihat segala hal benar baginya, untuk kemudian menguatkan langkah, apa yang akan dijalani selanjutnya. Jadi, meresapi makna quote ada baiknya untuk mengetahui sampai sejauh mana kebesaran hati kita untuk belajar pada sekitar kita.
Menyenangkan diri sendiri dengan mengatakan hal baik pada diri melalui quote-quote itu baik. Setidaknya meninggalkan jejak positif untuk diri. Tetapi, ketika menggunakannya untuk menyindir seseorang atau sesuatu, maka hal baik yang diharapkan tidak akan pernah datang menghampiri.
Keberadaan quote tersebut memang untuk mengisi rasa batin manusia yang terkadang perlu melihat segala hal benar baginya, untuk kemudian menguatkan langkah, apa yang akan dijalani selanjutnya. Jadi, meresapi makna quote ada baiknya untuk mengetahui sampai sejauh mana kebesaran hati kita untuk belajar pada sekitar kita.