saya percaya bahwa segala hal yang terjadi di semesta ini, berputar. Semua akan kembali ke awal, dengan atau tanpa hikmah yang diperoleh oleh mereka yang (sedang) menjalaninya.
Saya juga mempercayai, sekalipun manusia akan melebur kembali ke asal penciptaannya, perasaan tetap akan melarungi waktu hingga akhirnya kembali kepada siempunya.
Tuhan itu Maha Romantis.
Karenanya, cinta menjadi dasar relation bagi setiap individu di semesta ini.
Saya senang menarik setiap pelajaran dari yang saya amati disekitar saya. Baik itu secara real di lingkungan atau tempat yang saya lewati, maupun dari drama yang saya tonton.
Dan baper jika menemukan kisah indah disitu.
Seperti sekarang.
Saya baru menyelesaikan Angel's Last Mission : Love, dan mengunduh semua track listnya yang indah dan berhasil membuat mata saya kelilipan setiap mendengarnya, karena saya pun mengambil terjemahan roman dari hangul. Supaya memahami apa yang mau disampaikan.
Secara keseluruhan, jalinan ceritanya indah banget.
Malaikat yang tanpa sengaja mengulurkan tangannya mencampuri takdir seorang manusia, yang mengakibatkan dia harus menjalani hukumannya.
Hukumannya, mendampingi manusia yang dia campuri takdirnya itu, agar manusia tersebut memahami artinya mencintai.
Rasa sakit dan kehilangan bisa membuat kita tumpul dalam merasakan kasih. Sementara mereka yang menghuni kahyangan, memiliki hati yang tulus, polos, tanpa ragu dan mempertanyakan apapun, hanya mencintai.
Kenapa manusia mencintai dengan cara yang bodoh? Meski tahu ini harapan semu.. (Kim Dan cheonsa)
Kim Dan harus membuat Yeon Seo jatuh cinta dan terselamatkan, tetapi cinta itu malah menyergap hati dan jiwanya.
πππ
Di dunia nyata ini banyak orang yang kehilangan kepercayaan terhadap cinta, karena hal-hal yang melukai batin mereka.
Cerita yang disampaikan dalam drama ini, mengingatkan kembali, bahwa Tuhan menyiapkan jawaban atas segala hal yang kita pertanyakan, hanya saja kita terlalu buta untuk melihatnya.
Ketika kesulitan dan rasa sakit itu membekukan hati dan jiwa, kita menolak segala hal baik yang melintas di hadapan kita, mengiranya adalah kebodohan untuk mempercayai kembali.
Saya bertanya kepada teman saya, bolehkah marah kepada Tuhan?
Saya juga meminta jawaban yang tidak menghakimi. Siapa yang suka dihakimi?
Teman saya menjawab, boleh saja. Tapi berhati-hatilah dengan kemarahan yang kamu miliki untuk Tuhan, karena Dia seperti persangkaanmu.
Tuhan menyayangi dengan cara-Nya yang tidak akan pernah mampu mahluk-Nya pahami.
Tapi jika kamu membiarkan hatimu dipenuhi dengan cinta, maka kamu akan mengerti.
Letakkan saja pada angan, ketika kamu mencari takdir cintamu. Dia tidak akan tersesat, dan akan segera menemukanmu.
Ketika kehilangan sesuatu, lepaskan saja. Jangan kehilangan keyakinanmu. Karena itulah lentera dalam kegelapan panjang yang kamu rasakan ketika tenggelam dalam kekecewaan.
Memaafkan. Mengikhlaskan.
Tuhan selalu mendengar harapanmu, hanya saja sabarmu akan diuji lebih dahulu .. (Kim Dan cheonsa)
Beberapa waktu belakangan ini (entah sudah memakan berapa lama. Bulan? Tahun?), saya tidak meluangkan waktu menuangkan isi kepala saya ke dalam tulisan saya.
Barangkali... karena saya terlalu sibuk mengurusi orang lain. (Kalau bukan mengurusi diri saya sendiri dan kehidupan pribadi saya, yang benar-benar pribadi, sampai bisa jadi saya melupakan siapa saya).
Ya. Barangkali.
Padahal banyak sekali kata yang tertanam dalam benak saya. Bisa jadi ada yang sudah meluncur masuk ke subconscius saya, saking seringnya kata itu meluncur keluar bagai ingatan masa lalu.
Menuntut untuk diletakkan ditempat yang semestinya.
Seperti apa semestinya itu? Saya bisa meletakkannya dimana saja. Apalagi sejak menjamurnya media sosial, saya lebih sering meletakkannya disitu, sebagai simbol intuisi yang menjadi pondasi jiwa saya.
Mungkin, sekarang saya sedang bosan dengan media sosial, yang memaku kepastian dalam sepotong kepsyen yang kemudian bisa diartikan bagi sebagian orang adalah bentuk kegalauan.
Mana ada manusia tidak galau.
Mereka memiliki isi kepala mereka sendiri, kesulitan mereka sendiri, terungkapkan atau tidak.
Kemampuan empati manusia pada masa sekarang ini memang menurun drastis. Bahkan nyaris hilang.
Peduli, hanya gambaran dalam cerita-cerita satir, yang mendayu-dayu, yang mana interpretasinya masing-masing, tanpa perdebatan, hanya penghakiman.
Jemari saya mengajak saya untuk kembali peduli. Pada hati. Pada jiwa. Pada cerita mereka yang terpendam.
Sudah berapa lama ya saya menjalankan blog ini walaupun banyak cutinya? Hehehe... karena terkadang tulisan-tulisan saya, saya salurkan melalui media sosial yang lebih singkat, belajar branding, dan lainnya. Selain disibukkan dengan kisah hidup dan pekerjaan.
Saya mengenal media sosial sejak adik saya pulang kerumah pada suatu masa dengan teman-temannya dan sibuk tertawa bercerita, bahwa dia baru kenalan dengan bule!
Wow. Bule.
Tempo itu, bule adalah sesuatu hal yang sangat keren bahkan bagi saya, yang selalu kepengen menjajal kemampuan bahasa asing yang telah saya pelajari sejak usia 9 tahun. Yes, walau akademik saya yang cemerlang amat, tapi kemampuan bahasa saya lumayan.
Saya tanya dong, kenal dimana sama bulenya. Ternyata internet.
Huh? Internet? Sesuatu hal yang baru dan asing. Dan adik saya menyuruh saya pergi ke restoran cepat saji (the one and only dulu sebelum kemudian serangan kaefce, awe, kaliforniafred atau mekdi membombardir), di lantai 3nya. Rupanya disitu sudah dibentuk sedemikian rupa, menjadi sebuah cafe internet (pertama di kota saya), dan seru.
Mainlah kita, mIRC (bukan lagunya saikoji).
Itu, adalah pengenalan pertama saya dengan dunia maya. Dunia sosial. Selanjut-lanjutnya kemudian, ada Friendster, Yahoo Messenger, dan meruntut ke arah masa kini, Facebook, Twitter, Instagram, Weebo, dan lain-lain. (saya bukan mau mengabsen segala media sosial itu..)
Menjadi selebriti di dunia maya, sering menjadi tujuan. Bukan social climber, tapi merasa seneng aja kalau pusat perhatian terarah padanya. Tapi persaingan semakin ketat, seperti dunia entertain, selalu ada yang datang dan pergi. Lalu bagaimana mempertahankan pengikut? Konten.
Setiap postingan, harus punya arti. Pada biodata, sudah ditulis, apa yang mau 'dijual' dari sipemilik akun. Bisa jadi berubah-ubah, tergantung efek dari selebsos mana yang lagi diikuti.
Lalu, dalam postingan tersebut, mulailah dibuat berkonten quote (terutama untuk postingan gambar).
Meme, quote, banyak juga yang bersliweran. Tetiba, banyak banget sastrawan pujangga cinta melintas di setiap timeline media sosial. Atau seller yang membranding dengan soft sell.
Tapi, paham gak sama isi quotenya?
Terkadang, quote memang dipakai sebagai ajang pamer. Quote muvon, dipakai untuk pamer bahwa dia sudah tidak apa-apa, walau sebenernya serapannya gak gitu juga. Atau quote ayat, menguji keimanan sebenernya itu beneran diresapi, atau cuma buat pencitraan?
Perkara menyindirpun, dapat melalui quote yang dipostingkan. Jadi sebenarnya, keberadaan quote itu, untuk senjata, atau untuk mawas diri?
Menyenangkan diri sendiri dengan mengatakan hal baik pada diri melalui quote-quote itu baik. Setidaknya meninggalkan jejak positif untuk diri. Tetapi, ketika menggunakannya untuk menyindir seseorang atau sesuatu, maka hal baik yang diharapkan tidak akan pernah datang menghampiri.
Keberadaan quote tersebut memang untuk mengisi rasa batin manusia yang terkadang perlu melihat segala hal benar baginya, untuk kemudian menguatkan langkah, apa yang akan dijalani selanjutnya. Jadi, meresapi makna quote ada baiknya untuk mengetahui sampai sejauh mana kebesaran hati kita untuk belajar pada sekitar kita.
Lagi kecapekan maksimal, plus keterpaksaan setiap minggu harus melewati sekian ratus kilometer bolak-balik karena keadaan pekerjaan yang memaksa, padahal 3 minggu ini lagi high pressure kejer-kejeran sama waktu ngisi evaluasi perangkat daerah di kabupaten tempat saya kerja (dari dulu sampai sekarang - bukan kesetiaan hqq tp males ngurus pindah :')) ).
Yha akhirnya gak bisa tidur. Cuma tidur 1 jam trus terbangun sampai sekarang.
Sampai saya menulis catatan ini, otak masih menimbang apakah saya akan melanjutkan pekerjaan saya (nyicil bo'), atau baca novel yg baru aja saya terima dr toko buku online langganan, atau mengenang-ngenang yg terkasih lewat chat-chat usang tp tak lekang oleh waktu (perempuan memang suka nyimpen sampah, gak heran kalo sama mantan suka mellow. Walau saya ngga. Udah diajarin supaya gak begitu).
Belakangan, saya sedang sering mengamati pola perilaku orang-orang di sekitar saya, semenjak saya memperdalam pengetahuan saya mengenai karakter manusia, yang memaaaang seperti DNA, tidak ada yg sama satu sama lainnya (masih meragukan kebesaran Allah?), saya jadi otomatis belajar bagaimana menyikapinya.
Kerjaan yg sdg menyita otak, fisik, waktu dan duit saya ini adalah pengumpulan data yg kemudian akan diuploadkan dalam aplikasi untuk dievaluasi secara global. Meaning, harus TDB ataw tangan dibawah. Harus minta data dr dinas yang mana itu bisa banget jeroan mereka, yg pantesnya disimpen, atau diaduk-aduk KPK (hahaha..kejaam). Tapi datanglah seorang Judith bersama teamnya yang diperintah nyonya bosnya untuk ngumpulin semua.
Gak jarang ada insiden, karena hal ini dilakukan tanpa sosialisasi sebelumnya, hanya surat. Dan ajakan rapat yg rada maksa untuk semua bos, tp pada sibuk jd berwakil, dan berujung kena setrap sama Asisten.
Insiden yg paling menarik adalah indikasi pelecehan nilai yg dilakukan salah satu oknum pejabat ketika team Judith minta data. Yg kena pelecehan ngadu ke nyonya, nyonya ribut sama atasan si oknum pejabat itu.
Gak panjang urusan, tapi jadinya ngga enak.
Tapi saya kemudian pun menerima bbrp telpon yg bertanya, apa sih yg kami minta, walau team Judith sdh datang kesitu. Jadilah berkesimpulan, kalau mereka gak ngerti sampai nanya lagi (pake galak pulaaaa ngomongnya, walau melembut diujung karena tanggapan saya seramah resepsionis hotel bintang 5++, salah satu keuntungan pernah workshop dg trainer dr London School of Public Relations), team Judith itu ngomongnya kurang baik. Kurang pengalaman, atau kebiasaan, bisa jadi..
Kingsman, itu salah satu film favorit saya. Quote bekennya, Manners maketh men, itu nempel. Kamu boleh datang dari sudut mana aja, tapi attitudeis a must. Tidak mengatakan team Judith gak punya attitude, tapi mungkin bahasanya kurang baik, dan sama-sama menyinggung.
Begitulah kata-kata dan intonasi bisa bermain dengan perasaan manusia, likes and dislikes dari suatu hubungan, dan juga menjaga tatanan kromo, mungkin melelahkan bagi setiap orang yg sudah terpasung emosi.
Harus mampu menjaga perasaan orang lain walau kitanya mungkin sedang tidak dalam keadaan yang terjaga. Mungkin itulah yang jadi teralih ke kelelahan fisik dan mental.
Yang saya pahami, pekerjaan tidak akan membuatmu terjaga, tapi sikap yang baiklah yg akan membuatmu panjang umur dan jariah. Makanya, menjaga perilaku itu (pasti) akan membuatmu panjang umur, seabrek apapun pekerjaan (yang kali aja laknat juga) itu. Wkwkwkk.
~ sampai mengelarkan nulis catatan ini aja saya masih blm ngantuk... lanjut baca novel sajalah..
Ini adalah tulisan pertama saya setelah merasa memiliki kemampuan lagi untuk menulis, after a long time (yang katanya penuh kesibukan). Seorang teman yang juga seorang penulis aktif, baik di komunitas menulis dan sudah mengeluarkan buku yang disarikan dari karyanya pada aplikasi Wattpad, mendorong saya menulis kembali. Saya ragu. Setelah banyak hal yang saya lewati dalam pendewasaan diri dan mikirin bahasa marketing, bikin saya lupa, bagaimana mengawali menulis.
"Mulailah dari menulis status di media sosial dengan baik. Singkatpun tak apa."
Kembali aktif di Twitter, walau sangat aktif di Facebook (dipake jualan, bukan curhat. Saya bukan tipikal perempuan curhaters di media sosial. Jadi yang saya tulis nyata adanya. Cenderung sarkas, iya. Just be my self).
~menjadi diri sendiri itu gak gampang. Kecenderungan manusia itu memang tanpa menyadari meniru gerak dan gaya orang lain yang menjadi role modelnya, atau yang dia benci. Alam bawah sadarnya bermain disitu wkwkwwkkw (iya, sekarang saya lagi ngomongin orang. No mention, kalo merasa salah sendiri, sakit hati tidak dicover asuransi. Wkwkwkkwk.)
Okelah balik ke topik.
Selain dari teman saya itu, thanks Ms. K, ada lagi. Gak saya sangka ketika saya duduk mengobrol dengan kolega kantor, tiba-tiba dia nyeletuk, "Saya juga suka tulisannya mbak di blognya.."
What? Kapan saya pernah berbagi blog yang sudah lama tidak tersentuh ini? Saya tersentuh.
Tulisan memang meninggalkan jejak yang sangat lama. Maka dari itu, menulislah yang bermanfaat.
Seperti yang pengen saya bahas di tulisan pertama setelah sekian lama ini. Nasehat Hidup. Life Quote.
Kemarin, saya membaca postingan seorang teman medsos, yang intinya adalah mengucapkan selamat ulang tahun kepada ibunya tercinta. Namun dia menyelipkan nasehat sang ummi yang selama inipun saya amini sebagai hal yang saya pegang dalam hal berpasangan. (Sesuatu yang saya pelajari ketika merenungi perjalanan hidup saya)
Umminya berpesan kepadanya yang akan melangkah ke kehidupan barunya (waktu itu) :
Jangan sesekali memiliki sifat panjang lidah hingga banyak orang mengetahui isi rumah tanggamu, jadilah pakaian untuk suamimu yang menutupi aib. Suami adalah kehormatanmu.
Jangan abaikan pelayanan kepada suami terutama urusan perut dan dibawah perut, karena kamu menikahi pria dewasa yang tidak pernah meninggalkan masa bayinya, utamakan itu dan kamu akan menggenggam hati dan dompetnya.
Lucu? Aneh? Ngakak?
Beberapa orang akan menertawakan hal itu. Bahkan masih dengan keegoisan sebagai seorang perempuan (yang katanya) harus dipuja dan dimanja. Sedikit yang berpikir, bahwa pemujaan dan pemanjaan itu akan diperolehnya tanpa diminta, ketika memberikan pengabdian dan pemahaman yang diinginkan seorang laki-laki.
Saya pernah jadi salah satu perempuan mandiri yang berego tinggi. Tidak ada gunanya, saya rasa. Menjadi perempuan berdaya, bukan berati tidak bisa menjadi seorang perempuan yang meletakkan tangan suaminya diatas kepalanya, dengan menjadikannya imam dan tujuan hidupnya. Tanpa teriakan, bantahan, amukan, bantingan, drama PMS, apalagi ancam mengancam bahkan (naudzubillah min dzalik) menggunai suami agar menurut.
Saya pernah protes, kenapa saya dilarang ini itu, tidak boleh keluar rumah tanpa izin, dan kenapa mencoba dan mencoba lagi bertanya apakah saya boleh keluar berkumpul bersama teman-teman maupun komunitas positif saya.
Tapi diajari terus menerus, walau sangat keras, membuat saya semakin meyakini kalimat seperti yang diucapkan oleh ummi teman saya itu.
Itu adalah pegangan hidup seorang perempuan ketika suami mengambil alih penjagaan kedua orangtua perempuan itu untuk memulai hidup yang baru. Memuliakan suami, bukan cuma menyebut suami itu "bojoku".
Satu hal yang saya ketahui pun... Seorang laki-laki yang patah hati, tidak akan pernah senampak seperti seorang perempuan yang patah hati. Dia mampu menyimpannya sampai ke liang kubur, dengan senyum yang tetap nampak hangat dan tulus.
Mengetahui bagian terdalam dari diri sendiri, adalah perenungan tertinggi yang dicapai seorang manusia. Kalau masih ada yang ngomong ikhlas tapi masih ngomongin yang lain.. berarti masih masuk kategori perempuan kelas gosiper pojokan komplek di gerobak tukang sayur. :))
Jangan serius amat bacanya, walau saya serius nulisnya.
Open mind itu bukan cuma mengikuti alur masa kini, tapi pun mengelola diri untuk lebih bisa menjadi lebih baik. Semoga cerita awal kembalinya saya di blog ini bisa jadi renungan kita semua dan keikhlasan yang maksimal sebagai seorang musafir yang mencari oase hidup.
Dan semoga saya tidak malas lagi menulis. Ini bahkan bukan menulis, ini mengetik. :))
Was... i want to share a write about my holiday at Bali, but at the way back home, just heard a shocking news, that one of my friend passed away.
Beritanya cukup mengejutkan, tapi tidak untuk yang mengetahui bahwa dia memang sudah menderita sakit sejak lama. Hanya saja, cukup erat menyimpan informasi sakitnya, sehingga saya saja ngga tahu dia sakit apa tepatnya.
Dia tidak terlihat sakit. Senyumnya masih lebar, sorot matanya masih teduh. Hijab syar'i dan gamish panjangnya yang mungkin menutupi betapa kurus dirinya. Melihat jasadnya yang terbujur hampir rata dengan kasur yang mengalasinya, menunjukkan betapa kurus dan kecilnya badannya dimakan oleh penyakit itu.
Sedih. Pastinya.
Tetapi kita manusia di muka bumi ini hanyalah musafir yang menunggu dipanggil oleh Izrail untuk kembali kepada kekasih sejati kita, Allah SWT. Namun hati kecil manusia yang masih merasakan emosi kesedihan itu.
Sesiap-siapnya keluarga yang ditinggalkan, tetap saja airmata turun berderai.
Luka karena kematian lebih pedih daripada kehilangan apapun. Pada saat itulah, manusia sesungguhnya berada dipersimpangan, bagaimana ia mau menapaki hidup setelah kehilangan. Bagaimana mendekat kepada Illahi untuk mengobati rasa itu. Dan bagaimana mensyukuri apa yang kita terima untuk selanjutnya.
Bila masa telah tiba, yang bisa dilakukan manusia hanyalah merengkuhnya dengan keimanan. Jangan bersedih karena kematian, bersedihlah karena kita masih harus menjalankan hidup didunia ini. Namun berbahagialah karena Allah masih memberikan waktu, untuk kita bertobat sebelum menghadap-Nya.
Dear teman saya, semoga menemukan surganya yang terindah. Waktumu didunia telah habis, istirahatlah sampai waktunya bertemu kembali...
Patah hati memang identical banget dalam menjalin hubungan. Hubungan apapun, ngga mesti percintaan. Semua sama menyakitkannya. Semua sama memberi traumatik. Semua sama menguras energi.
Hanya aja... bagaimana kamu menghadapinya.
Dan mengucapkan selamat tinggal..