Thursday, May 14, 2015

Basa basi busu(k)

Jam segini, salah seorang kenalan saya mengirimkan pesan singkat. Just say hi, tapi dia khawatir saya jutekin.

"Karena kamu jutek sekali sama saya"

Sebenarnya sih, mungkin sama rata-rata pria, saya sedikit menjaga jarak, yang kemudian diartikan oleh mereka dengan, jutek. Secara bukan cuma kenalan saya yang ini yang bilang begitu. Radar pendeteksi pria ganjen milik saya aja yg kelewat kenceng deteksinya, soalnya sama beberapa kenalan pria lain, saya bisa menanggapi joke-joke yang (mungkin) masuk kategori pelecehan bagi beberapa teman perempuan saya. Jadi mana yang punya niat melenceng walau terbungkus santun pun boleh jadi kena samber jutek saya.

Tanggapan orang bisa beda-beda, ya.

Bagaimana saya tidak jadi jutek?

Tadi pagi, kolega mengirimkan pesan singkat. Minta pin bb. Saya beri dengan alasan pekerjaan. Setelah saling add, basa basi memulai percakapan pun dimulai. Keanehan mulai terasa ketika kolega saya bbm "jangan lupa sholat dan makan siang". Saya jawab dengan ikon senyum demi kesopanan, lho. Eh, jam 4 sore mengulang bbm yg sama. Jam setengah 10 malam bbm lagi, nanya saya lagi ngapain.
Kolega saya laki-laki. Punya anak 3. Pantes gak sih saya jutekin?

Basa basi itu biasa buat orang Indonesia. Tapi sering juga dibungkus aroma dualisme. Coba deh, saya kira kalo kemudian saya jutek, pasti udah paling bener aja sikap yang saya tampilkan gak?

Kesopanan orang Indonesia sudah sangat kontras sekarang. Kalau nanti ditegur, malah balik bilang kita yang kegeeran. Tapi rasa kurang nyaman dengan percakapan seperti itu kenapa tidak dirasakan? Apa sensitivitas sudah dilemahkan?

Perempuan sering dicap penggoda. Kalo ada kasus perselingkuhan, yang dijambak duluan pasti yang perempuan. Yang dicaci maki duluan pasti perempuan. Padahal belum tentu kejadian awalnya seperti itu.

Kalau kita acuh, dianggap tidak menghargai norma yang berlaku di lingkungan tersebut. Pernah juga kejadian sih. Padahal yang ganjen yang laki. Mau kita gampar, dia bos kita. Nah trus gimana?

Melindungi diri dari fitnah adalah hal tersulit yang dilakukan. Menjadi apa adanya dengan resiko hubungan bisa merenggang, barangkali itu satu-satunya pilihan.
Repot.

Saturday, May 2, 2015

Feel free

Kebiasaan menyimpan segala sesuatu dan menahan diri untuk bercerita tampaknya sudah mematikan keinginan saya untuk memberikan banyak komentar yang keluar dari kesepuluh jari-jari tangan saya.
Kebiasaannya jadi menyesap espresso dobel sambil menenangkan diri menahan segala kekesalan yang menyebabkan sekarang merasakan sakit di leher karena stres.

Oh ya. Saya yakin karena stres.

Cobaan menghadapi sejuta problema-gak-penting-tapi-malah-fatal membuat saya uring-uringan. Belum lagi (bisa jadi) kesalahan saya mengintrepretasikan nasihat coach saya mengenai bagaimana mengatasi problema (yang pasti tidak dengan bahasa bahasa sehalus apapun di medsos) menyebabkan saya hanya mengatasinya sendiri.

Dan itu ternyata salah.

We still need someone that really understand what inside us, to talk about.

Saya ngerasa memaksakan diri jadi seseorang yang bahkan bukan diri saya sama sekali. Push my limit too hard. Apalah artinya great attitude kalo malah membuat kita berjalan tidak dengan bayangan kita sendiri.

You don't have to be ashame if you want to cry. Just cry. Lot out loud. Konflik itu akan selalu ada. Dan berhasil mengatasinya membuat kita naik satu level.

Dan saya pun kembali bersandar sama kesayangan, yang sudah saya hindari berbulan-bulan ini. Bukannya bilang hanya dia satu-satunya yang mengerti, tapi sesungguhnya sangat menyenangkan bisa berdebat dengannya, tentang hal yang saya yakini dan yang dia yakini (yang sudah pasti tidak akan membuat saya berhenti mendebat 😄😄)

Apa kabar?

 Jalan-jalan, ketemu kawan  Kemudian saling bertegur sapa  Hai. Apa kabar?  πŸ˜ΆπŸ’­ Apa kabar... Saya sudah berbulan-bulan insomnia parah, wala...